Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Profil kredit perusahaan telekomunikasi dan menara Indonesia sebagian besar tidak akan terpengaruh melemahnya rupiah. Padahal rupiah telah terdepresiasi sebesar 12% sejak awal tahun.
Fitch Ratings seperti dikutip dalam rilis Senin (27/4) percaya kombinasi kontrak lindung nilai (hedging), utang jangka panjang dan lindung nilai alami akan mencegah kondisi negatif atas depresiasi rupiah. Namun, arus kas bebas alias free cash flow (FCF) perusahaan telekomunikasi dapat dipengaruhi peningkatan capex, yang didanai dalam mata uang asing.
Pemimpin pasar telekomunikasi, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dengan peringkat BBB dan outlook stabil juga akan terjaga dari kejatuhan rupiah. Pasalnya, biaya dan utang dalam mata uang asing TLKM sangat kecil.
Baca Juga: Telekomunikasi Indonesia (TLKM) masih bahas revisi target kinerja 2020
Fitch menghitung hanya 10% dari biaya operasional tahunan TLKM yang menggunakan mata uang asing. Biaya tersebut untuk sewa satelit, biaya interkoneksi dan bisnis internasional.
Telkom memiliki eksposur yang rendah terhadap utang mata uang asing karena 95% pinjaman dalam rupiah per akhir September 2019.
Sedangkan pinjaman dalam dollar AS sebesar 4% dan sisanya dalam yen Jepang serta ringgit Malaysia. Pendapatan TLKM dalam dollar AS hanya 2%-3%. Ini terutama terdiri dari penerimaan pendapatan interkoneksi dan bisnis satelit.
Operator seluler terbesar ketiga di Indonesia, PT Indosat Tbk (ISAT) juga telah mengurangi eksposure utang dollar AS. Per akhir 2019, utang dalam neraca Indosat sebesar Rp 21,6 triliun dalam rupiah. Ini terjadi setelah ISAT refinancing pinjaman US$ 20 juta pada tahun 2019.
Fitch memperkirakan mayoritas pendapatan dan biaya operasional Indosat dalam mata uang lokal, dengan kurang dari 10% dalam mata uang asing. Namun, margin EBITDA operasional di bawah tekanan karena telah membayar sekitar 15% dari total kewajiban sewa dalam dollar AS.
Baca Juga: Mewaspadai Penurunan Kemampuan Korporasi Membayar Utang
Kondisi kinerja dan biaya operasional PT XL Axiata Tbk (EXCL) jauh lebih baik. Fitch mencatat, semua utang XL sebesar Rp 27 triliun (termasuk kewajiban sewa) semuanya dalam mata uang rupiah pada akhir Desember 2019. XL telah membiayai kembali pinjaman bank dalam dollar AS pada awal 2019 dengan utang rupiah. Ini untuk mengurangi eksposurnya terhadap fluktuasi mata uang asing.
Perusahaan menara PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) memiliki utang berdenominasi dollar AS paling besar yakni sebesar 82%. Sementara perusahaan menara lain seperti PT Profesional Telekomunikasi Indonesia yang dimiliki oleh PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) memiliki utang dollar AS sebesar 28% dan perusahaan menara terbesar ketiga PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) sebesar 56%.
Meski tingkat utang TBIG dalam dollar AS cukup besar. Tapi, TBIG telah mengurangi risiko nilai tukar mata uang asing dengan lindung nilai pokok utang dollar AS melalui swap lintas mata uang dan spread call option. Pembayaran bunga atas utang juga telah dilindungi nilai (hedging) melalui pertukaran mata uang asing dan lindung nilai alami dari penerimaan sekitar US$ 40 juta atau sekitar 13% dari pendapatan. Pendapatan dalam dollar AS tersebut berasal dari pendapatan sewa tahunan.
TBIG memiliki komitmen mempertahankan leverage, yang diukur dengan utang bersih/EBITDA tahunan kuartal terakhir, di bawah 5,0 kali. Sedangkan fund from operations (FFO) menyesuaikan 5,5 kali.
Fitch mengharapkan FFO menyesuaikan leverage bersih untuk tetap di bawah 5,75 kali. Sehingga memungkinkan TBIG akan memberi dividen kepada pemegang saham tahunan sebesar Rp 1,2 triliun-Rp 1,4 triliun pada 2020-2021.
TBIG juga memiliki likuiditas yang kuat karena berhasil mengumpulkan US$ 350 juta setara dengan Rp 5,6 triliun melalui penerbitan obligasi senior tanpa jaminan pada Januari 2020 yang memberi bunga 4,25%. Perusahaan ini juga menerbitkan obligasi Rp 1,5 triliun pada bulan Maret. Kedua obligasi dan komitmen fasilitas bank TBIG yang belum ditarik US$ 200 juta akan menutup utang jangka pendeknya sebesar Rp 2,2 triliun.
Baca Juga: Tower Bersama (TBIG) akan lunasi utang jangka pendek Rp 4,5 triliun dari kas internal
Sementara SUPR memiliki utang US$ 303 juta pada akhir September 2019. Tetapi perusahaan ini telah melakukan lindung nilai atas semua pembayaran pokok dan bunga melalui pertukaran mata uang. "Kami memperkirakan persentase satu digit rendah dari pendapatan STP dalam dollar AS," tulis analis Fitch Rating dalam rilisnya.
Porsi utang jatuh tempo SUPR sebesar 76% pada 2023. Hanya sekitar 10% dari utang atau sekitar Rp 707 miliar jatuh tempo pada 2020 dan 2021.
Sementara Protelindo, anak usaha TOWR memiliki sekitar US$ 308 juta utang dalam mata uang asing. Dari total utang TOWR sebesar Rp 15,3 triliun sebesar 12% dalam dolar AS dan 16% dalam yen.
Baca Juga: Pendapatan Sarana Menara Nusantara (TOWR) naik 10% pada 2019
Risiko nilai tukar mata uang asing secara alami telah di hedging karena Protelindo, anak usaha TOWR mendapatkan sekitar 21% pendapatan dari PT Hutchison Indonesia dalam dollar AS dan memiliki uang tunai US$ 25 juta pada akhir Desember 2019. Utang dollar AS juga sepenuhnya ditanggung oleh pendapatan kontrak dari US$ 208 juta dari Hutchison yang akan diterima pada 2020-2024.
Risiko mata uang asing juga berkurang setelah TOWR membayar ¥ 13,3 miliar setara dengan US$ 120 juta obligasi pada Februari 2020. Anak usaha TOWR ini juga telah menandatangani kontrak lindung nilai US$ 25 juta untuk lindung nilai obligasi dolar AS. Sisa obligasi ¥ 5,7 miliar setara dengan Rp2,4 triliun dan US$ 138 juta masing-masing akan jatuh tempo pada 2022 dan 2024.
Jika berkenan, silakan manfaatkan fasilitas donasi berikut ini.
Read Again Vroh https://investasi.kontan.co.id/news/fitch-porsi-utang-dollar-emiten-telko-dan-menara-masih-aman
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Fitch : Porsi utang dollar emiten telko dan menara masih aman - Kontan"
Posting Komentar